Menginjak usia remaja (10 – 15 tahun) anak-anak terkadang terlihat sebagai sekumpulan individu yang susah diberitahu dan diatur. Mereka ingin mengatur dirinya sendiri dan kalau perlu mengatur orang dewasa. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kognitif mereka. Seringkali orang dewasa mengalami hambatan berkomunikasi dengan anak-anak karena referensi mereka yang minim tentang perkembangan anak. Mereka acapkali tidak sejalan dengan cara berpikir dan berkehendak. Hambatan komunikasi ini rupanya tidak hanya dialami oleh orangtua dan anaknya, namun juga dialami oleh guru-guru di sekolah. Tak jarang guru kehabisan ide untuk berkomunikasi dengan anak didiknya. Anak-anak sering bertanya pertanyaan-pertanyaan kritis kepada guru. Tidak jarang guru kesulitan menjawab dan harus mencari jalan supaya bisa menjawab pertanyaan siswa. Apalagi jaman sekarang, dimana teknologi begitu maju, guru harus mempersiapkan strategi terbaiknya untuk mengajar. Guru harus berada di posisi 100 langkah di depan siswa. Salah satu yang harus dipersiapkan dan dikuasai guru adalah pengetahuan mereka tentang perkembangan kognitif anak. Pengetahuan ini tentunya akan sangat membantu guru-guru dalam memahami, memperlakukan dan mendidik anak.

Salah satu teori perkembangan kognitif anak yang menjadi rujukan dunia pendidikan adalah Teori Piaget. Piaget membagi perkembangan anak menjadi 4, yaitu sensory motor(0-2 tahun), pra-operasional(2-7 tahun), concrete operation(7-11/12 tahun) and formal operation(diatas usia 11/12 thn).  

Merujuk pada Teori Piaget, perkembangan kognitif anak usia 10 – 15  tahun masuk pada tahap akhir operasional concrete dan awal tahap formal operational. Pada tahap operasional konkrit, logika berpikir anak-anak mulai berkembang dan kepercayaan diri terhadap pandangannya sendiri meningkat. Hal ini mengakitabkan anak-anak di usia ini tidak mudah menerima masukan dari luar. Mereka juga mulai mengkritisi hal – hal yang tidak bisa terima menurut pandangan mereka. Sementara pada tahapan operasional formal, selain logika berpikir semakin berkembang, ide dan gagasan untuk memecahkan masalah di sekitar mulai tampak.

Menurut Piaget, beberapa faktor yang dapat mempengaruhi setiap tahapan perkembangan kognitif adalah cara individu berinteraksi dengan lingkungan dan alam alam sekitar, serta cara mereka mengolah informasi. Dengan demikian, pada tahap ini anak-anak sedang senang-senangnya belajar. Oleh sebab itu anak-anak harus diberi kesempatan untuk mencari, memahami, menggunakan dan memanfaatkan sesuatu yang bisa membuat kognitif mereka semakin berkembang. Anak-anak usai 10-15 tahun harus dikondisikan untuk belajar. Lebih jauh lagi, semua kegiatan belajar semestinya dirancang menjadi serangkaian kegiatan yang menstimulasi perkembangan kognitif mereka. Menurut Skinner, pengertian belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlaku secara progresif. Belajar selalu memiliki tiga tujuan, yaitu: untuk memperoleh pengetahuan, menanamkan konsep dan keterampilan, serta membentuk sikap.

Pada dasarnya, belajar bisa dilakukan dimana-mana. Namun belajar secara formal haruslah dilakukan di sekolah atau lembaga pendidikan tertentu. Pada umumnya, saat anak-anak belajar di sekolah mereka akan belajar di dalam kelas. Padahal sebetulnya, belajar di luar kelas pun memilki makna dan manfaat yang sama baiknya. Salah satu kelebihan jika belajar dilakukan di luar kelas adalah anak-anak akan memiliki kepekaan terhadap lingkungan yang lebih baik. Sedangkan apabila pembelajaran dilakukan di dalam kelas, anak-anak hanya akan mendapatkan teori tanpa dapat mengaplikasikannya secara langsung. Akibatnya, ketika disodori problematika yang mengandalkan practical life skill dan awareness (kepekaan), mereka menjadi kewalahan. Tak heran bila akhir-akhir ini banyak sekolah yang mendorong kegiatan pembelajaran dilakukan diluar sekolah. Istilah untuk pembelajaran di luar kelas selanjutnya disebut Outdoor Learning.

Apakah yang dimaksud Outdoor Learning? Secara sederhana, Outdoor Learning adalah kegiatan belajar yang dilakukan di luar ruangan dan memberikan banyak kesempatan kepada anak untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan alam semesta. Outdoor Learning saat ini menjadi program unggulan di sekolah-sekolah modern karena menawarkan variasi belajar yang memikat. Tidak bisa dibantah Outdoor Learning sangat digemari siswa karena mengandung unsur “jalan –jalan”.  Namun Outdoor Learning yang benar haruslah mampu menjadi media bagi siswa untuk memperoleh pengetahuan, menanamkan konsep dan ketrampilan yang bisa diaplikasikan, serta bisa membentuk perubahan sikap. 

Sejarah Outdoor Learning (OL). Outdoor Learning pertama kali digagas oleh Elnora Whitson Curtis (1909) di Amerika Serikat pada awal tahun 1900. Istilah outdoor berasal dari kata “out-of-doors” yang berarti aktif berada di luar ruangan kelas. Artinya, guru dan siswa harus benar-benar keluar dari ruang kelas untuk belajar. Mereka menjelajah lingkungan di luar sekolah seperti halaman, kebun sekolah, komunitas di luar sekolah, bahkan menjelajah hutan. Sebelum muncul gagasan Outdoor Learning, kegiatan belajar selalu diadakan didalam kelas. Pada waktu itu pintu kelas benar-benar membatasi dua dunia yang berbeda, yaitu dunia sekolah dan kehidupan nyata. Tahun 1920, John Dewey membuat konsep yang lebih baik tentang Outdoor Learning. Ia mempopulerkan konsep ini karena dalam studinya, siswa lebih bersemangat dan antusias saat menjalani Outdoor Learning. Konsep Outdoor Learning tidak langsung diterima oleh sekolah-sekolah pada waktu itu. Sejak diperkenalkan, tidak sedikit sekolah yang menolak konsep ini. Mereka menolak karena lebih nyaman belajar di dalam kelas. Peran media sangat besar dalam perkembangan, kampanye, dan sosialisasi Outdoor Learning. Sekolah-sekolah mulai terbuka terhadap konsep Outdoor Learning setelah pemerintah Amerika memasukkan Outdoor Learning kedalam kurikulum sekolah. Sejak saat itu kegiatan Outdoor Learning semakin popular di Amerika, bahkan hingga ke Eropa. 

Lebih Dekat Dengan Outdoor Learning. Berbeda dengan pembelajaran yang diadakan di dalam kelas, pembelajaran di luar kelas memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang lebih melibatkan siswa secara aktif atau student centered dalam pelaksanannya. Outdoor learning tidak bisa hanya dilakukan sekali-dua kali, namun harus ada long-life process dan konsistensi sehingga baik sekolah dan siswa mendapatkan output yang ingin dicapai. Selain itu, situasi dan kondisi yang dihadapi pada saat pelaksanaan pembelajaran di luar kelas juga harus memiliki kesinambungan satu sama lain dengan pelajaran yang bersangkutan. Dengan begitu, siswa menjadi lebih paham dan pada akhirnya mereka dapat mengaplikasikan pengetahuan yang mereka dapatkan ke dalam pengalaman mereka sehari-hari. Sebagai contoh saat mengadakan kegiatan Outdoor Learning dalam bidang sains, siswa tidak hanya mempelajari sains saja, namun siswa juga dituntut untuk menguasai aspek moral dan sosial. Diharapkan saat kegiatan Outdoor Learning berakhir, siswa mampu mempraktekkannya di dunia nyata dan terampil dalam. Siswa dibimbing practical life.  ***

 

Trending

Create a website or blog at WordPress.com