Kesiapan sering dipahami sebagai kondisi ketika seseorang merasa aman. Ketika situasi stabil, sistem rapi, dan arah terasa jelas, kita mengatakan bahwa kita siap. Cara pandang ini terasa wajar, karena manusia secara alami mencari rasa aman sebelum bergerak. Namun, jika dilihat dari cara manusia belajar dan beradaptasi, kesiapan tidak selalu tumbuh dari rasa aman.

Manusia hidup di dunia yang bekerja melalui perubahan. Banyak situasi nyata tidak datang dalam kondisi ideal. Ketidakpastian, gangguan, dan tekanan sering muncul sebelum seseorang merasa benar-benar siap. Dunia tidak menunggu sampai manusia merasa aman untuk berubah. Karena itu, readiness perlu dipahami secara berbeda.

Readiness bukan kondisi ketika semuanya terkendali. Readiness adalah kapasitas untuk tetap berpikir jernih dan bertindak dengan sadar ketika kendali mulai berkurang. Ketika arah belum sepenuhnya jelas, tetapi seseorang masih mampu menimbang situasi dan mengambil keputusan.

Dalam konteks ini, rasa aman dan kesiapan bukanlah hal yang sama. Rasa aman bergantung pada stabilitas. Ia muncul ketika situasi dapat diprediksi. Readiness justru terlihat ketika prediksi mulai goyah, tetapi seseorang tidak kehilangan kemampuan untuk bergerak.

Ke depan, kondisi seperti ini akan semakin sering dihadapi. Perubahan berlangsung cepat, kompleks, dan sering kali menuntut secara emosional. Dalam situasi seperti ini, readiness bukan lagi keterampilan tambahan. Ia menjadi kapasitas dasar untuk bertahan dan berfungsi secara sehat.

Namun, kesiapan tidak berarti hidup tanpa pegangan. Di sinilah sering terjadi kesalahpahaman. Banyak orang mengira bahwa untuk siap menghadapi perubahan, stabilitas harus dilepaskan. Padahal, stabilitas dan kemampuan beradaptasi tidak saling meniadakan.

Stability memberi pijakan dan arah. Ia membantu seseorang memahami nilai apa yang perlu dijaga dan batas apa yang tidak boleh dilanggar. Adaptability memungkinkan seseorang bergerak ketika situasi berubah. Tanpa stability, perubahan menjadi tidak terarah. Tanpa adaptability, stability menjadi rapuh saat tekanan datang.

Masalah muncul ketika keseimbangan ini hilang. Adaptability tanpa stability menghasilkan fleksibilitas yang kehilangan tujuan. Sebaliknya, stability tanpa adaptability menciptakan keteraturan yang terlihat rapi, tetapi tidak tahan terhadap perubahan. Keduanya gagal membangun readiness jangka panjang.

Kemampuan beradaptasi bukan kemampuan yang muncul secara otomatis. Ia tidak tumbuh hanya karena seseorang sering berada dalam situasi sulit. Adaptability membutuhkan pengendalian diri, regulasi emosi, dan kejernihan berpikir di tengah ketidakpastian. Kapasitas seperti ini tidak berkembang dalam kekacauan yang terus-menerus, tetapi juga tidak tumbuh jika tidak pernah diberi tantangan.

Readiness justru berkembang ketika struktur yang stabil diberi tantangan secara bertahap dan disengaja. Struktur tidak dihilangkan dan tidak dipercepat, tetapi diregangkan dengan sadar. Dari proses inilah seseorang belajar bergerak tanpa kehilangan pijakan, serta menghadapi ketidakpastian tanpa harus kembali mencari rasa aman semu.

Sayangnya, readiness sering kali ditunda. Banyak orang menunggu kondisi ideal sebelum merasa perlu membangunnya. Padahal, ketika kesiapan baru mulai dibentuk setelah semuanya terasa aman, proses belajar sering datang terlambat. Masa depan tidak berhenti bergerak hanya karena manusia belum siap.

Karena itu, pembelajaran perlu dipahami ulang. Pembelajaran bukan tentang menyiapkan manusia untuk dunia yang sepenuhnya bisa diprediksi. Pembelajaran adalah proses membangun readiness. Kemampuan untuk tetap berpikir jernih, mengambil keputusan, dan menjaga keseimbangan ketika kepastian mulai menghilang.

Mungkin pertanyaan terpenting saat adalah, readiness seperti apa yang sebenarnya sedang kita bangun? Pertanyaan ini tidak perlu dijawab sekarang. Karena cara kita menahan pertanyaan ini, adalah bagian dari kesiapan itu sendiri. #RW

Leave a comment

Trending