Serial Realistic Mathematics Education (RME)
Setiap anak punya cara sendiri dalam memahami sesuatu. Ada yang senang bercerita, ada yang suka menggambar, ada pula yang lebih mudah memahami dengan melihat pola. Dalam pembelajaran matematika, cara-cara itu bukan sekadar gaya belajar — melainkan jembatan penting menuju pemahaman konsep. Di sinilah Realistic Mathematics Education (RME) memberikan tempat bagi cerita, gambar, dan model sebagai bahasa baru dalam belajar matematika.
RME percaya bahwa sebelum anak memahami simbol dan rumus, mereka perlu memiliki makna. Dan makna itu sering kali muncul ketika mereka mampu mewakilkan pemahamannya melalui sesuatu yang konkret — entah dengan menggambar situasi, membuat tabel sederhana, atau menuliskan cerita kecil yang menggambarkan permasalahan. Dengan cara ini, matematika tidak datang dari rumus, tetapi tumbuh dari pengalaman yang mereka pahami.
Misalnya, ketika siswa menceritakan tentang membeli buah di pasar, guru bisa mengajaknya membuat gambar atau tabel untuk menunjukkan banyaknya buah yang dibeli. Dari situ, anak menemukan sendiri konsep penjumlahan atau perbandingan. Saat mereka menggambar taman bermain dan menandai jarak antar permainan, mereka sedang belajar tentang ukuran dan skala. Cerita sederhana yang mereka buat menjadi pintu masuk untuk berpikir matematis.
Bagi guru, cerita dan gambar bukan sekadar alat bantu visual, melainkan jembatan berpikir. Mereka membantu anak menyeberang dari dunia nyata menuju dunia konsep. Guru tidak perlu terburu-buru mengubah gambar menjadi angka. Biarkan anak melihat hubungan di antara keduanya. Proses inilah yang membuat matematika terasa alami dan mudah dicerna.
Model, dalam konteks RME, memiliki peran yang sangat penting. Ia adalah bentuk perantara antara realitas dan abstraksi. Model bisa berupa diagram, garis bilangan, bagan, tabel, atau bahkan susunan benda nyata yang membantu anak memahami hubungan antaride. Melalui model, anak belajar menemukan pola dan menyederhanakan sesuatu yang kompleks menjadi hal yang dapat mereka jelaskan sendiri.
Dengan memberi ruang bagi anak untuk menggambar, membuat cerita, dan membangun model, guru sedang menumbuhkan cara berpikir matematis yang kreatif. Anak tidak lagi sekadar menjawab, tetapi menjelaskan bagaimana mereka berpikir. Mereka belajar bahwa setiap ide dapat diwujudkan dalam bentuk visual atau naratif — dan dari situlah lahir pemahaman yang tahan lama.
Ketika matematika menjadi bahasa yang bisa divisualkan dan diceritakan, anak-anak tidak hanya belajar menghitung. Mereka belajar berpikir, menghubungkan, dan menjelaskan. Matematika pun berubah dari sesuatu yang diam menjadi sesuatu yang hidup — berbicara dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh setiap anak dengan caranya sendiri. #RW






Leave a comment