Serial Realistic Mathematics Education (RME)

Setiap anak memiliki cara berpikir yang unik. Ada yang cepat menemukan pola, ada yang butuh waktu lebih lama untuk memahami hubungan antarangka, ada pula yang melihat sesuatu dari sudut pandang yang tidak terpikirkan oleh kita. Dalam pembelajaran matematika, keberagaman ini bukan hambatan, melainkan kekayaan yang perlu dirayakan.

Realistic Mathematics Education (RME) mengajak guru untuk tidak hanya mengajar konsep, tetapi juga mempelajari bagaimana anak berpikir. Proses ini menuntut guru untuk lebih banyak mendengar dan mengamati, bukan sekadar memberi tahu. Sebab, pemahaman yang tumbuh dari dalam diri anak jauh lebih kuat daripada jawaban yang datang dari luar.

Ketika anak menghadapi masalah matematika, mereka sebenarnya sedang menampilkan cara berpikirnya. Ada yang langsung menggambar, ada yang mencoba menebak, ada yang menguji ide dengan benda nyata. Semua cara itu sahih, karena setiap anak sedang berusaha membangun makna sendiri. Tugas guru adalah mengenali pola berpikir itu, menghargainya, lalu menuntun anak menuju cara berpikir yang lebih matang.

Bayangkan seorang siswa yang mencoba menghitung jumlah kursi di aula dengan menghitung satu per satu. Mungkin bagi kita cara itu tidak efisien. Namun bagi anak, itulah tahap berpikir yang paling masuk akal. Dari situ, guru bisa mengarahkan: “Bagaimana kalau kita hitung barisnya dulu, baru dikalikan banyaknya kolom?” Dengan begitu, anak bukan hanya tahu cara cepatnya, tapi memahami mengapa cara itu lebih efektif.

RME menempatkan proses berpikir anak sebagai pusat pembelajaran. Guru menjadi pendamping berpikir, bukan penentu jawaban. Pertanyaan seperti “Bagaimana kamu tahu?” atau “Mengapa kamu memilih cara itu?” menjadi lebih penting daripada “Berapa hasilnya?”. Melalui percakapan ini, guru membantu anak mengungkapkan logika mereka, memperbaikinya secara alami, dan membangun pemahaman yang lebih dalam.

Belajar dari cara anak berpikir juga berarti menerima bahwa kesalahan adalah bagian dari proses belajar. Kesalahan bukan tanda gagal, tetapi tanda bahwa anak sedang bereksperimen dengan ide. Dalam RME, guru tidak terburu-buru mengoreksi, tetapi memberi ruang agar anak menemukan sendiri titik perbaikan dari pemikirannya. Dari sinilah muncul rasa percaya diri dan keberanian untuk mencoba kembali.

Saat guru mampu membaca cara anak berpikir, pembelajaran menjadi lebih manusiawi. Anak merasa didengar dan dihargai, bukan diukur dari kecepatan menjawab. Mereka tumbuh menjadi pemikir yang mandiri, bukan penghafal langkah. Dan pada akhirnya, guru pun belajar sesuatu yang berharga — bahwa matematika bukan hanya tentang angka, tetapi tentang memahami cara manusia berpikir, bernalar, dan menemukan makna di balik setiap pola kehidupan. #RW

Leave a comment

Trending