Dunia terus berubah, kemampuan untuk berpikir secara kreatif dan inovatif semakin penting. Oleh sebab itu mengenalkan konsep-konsep design thinking sejak dini dapat memberikan anak-anak keunggulan dalam kehidupan mereka kelak. Meski anak-anak mungkin tidak memahami terminologi akademis dari design thinking, mengajarkan prinsip-prinsip dasar sangat berguna untuk pengembangan keterampilan berpikir kritis, kreatif, dan empati.
Bagaimana cara menjelaskan design thinking kepada anak-anak lower level?
Memberikan penjelasan tentang design thinking kepada anak-anak bisa menjadi penting, terutama jika kita ingin mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah sejak dini. Namun, cara menjelaskannya harus disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak memahami sebuah informasi yang berupa konsep. Konsep adalah hal yang abstrak.
Anak-anak yang dikategorikan sebagai “lower level” biasanya merujuk pada anak-anak pra-sekolah hingga awal tahun-tahun sekolah dasar. Umumnya, berusia antara 3 hingga 8 tahun. Pada tahap usia ini, anak-anak sedang mengembangkan keterampilan dasar dalam berbagai aspek, termasuk motorik, bahasa, kognitif, dan sosial-emosional.
Einstein pernah mengatakan “If you can’t explain it simply, you don’t understand it well enough.” Einstein menekankan pentingnya kemampuan seseorang memberikan penjelasan yang jelas dan sederhana untuk konsep-konsep yang kompleks. Seseorang yang mampu menyampaikan sebuah konsep dengan cara yang sangat mudah dipahami oleh orang lain, artinya dia sangat memahami konsep tersebut. Oleh sebab itu, syarat pertama apabila kita ingin menjelaskan mindset design thinking kepada anak-anak, kita harus benar-benar memahami design thinking dengan tepat.
Setelah syarat tersebut dipenuhi, lanjutkan dengan menggunakan bahasa yang sederhana, mudah diterima, dan menyenangkan bagi anak-anak. Misalnya membuat analogi begini: “Design thinking itu seperti menjadi detektif yang mencari cara untuk membuat segalanya lebih baik dan lebih menyenangkan. Kita perlu mendengarkan orang lain, memikirkan ide-ide keren, membuat gambar atau model dari ide-ide itu, dan kemudian mencoba untuk melihat apakah ide-ide yang kita pilih bisa dilaksanakan dengan baik atau tidak. Apabila belum baik, lalu dicari bagaimana memperbaikinya.”
Cara berikutnya adalah membuat analogi dengan kegiatan yang dimengerti anak. Misalnya analogi menyusun lego: “Saat menyusun lego, kita akan memikirkan apa yang kita inginkan, kita membuat rencana, membangunnya, dan kemudian terkadang merubahnya jika ada yang tidak pas. Nah proses menyusun lego ini mirip sekali dengan design thinking.”
Bayangkan saat kita memberikan definisi ini kepada anak-anak: “Design thinking adalah pendekatan kreatif untuk memecahkan masalah dan mengembangkan solusi inovatif. Pendekatan ini berfokus pada bagaimana memahami dengan baik kebutuhan user, mengidentifikasi masalah yang perlu dipecahkan, dan menghasilkan solusi yang dapat diuji, ditingkatkan, dan diimplementasikan. “
Selain diksi yang sulit, susunan kalimat juga terlalu kompleks. Kita tidak membuat hal yang kompleks menjadi sederhana malah membuat yang kompleks makin kompleks.***LC-R






Leave a comment